ZONA NEWS (ZNN) | Menjadi anggota DPR atau pejabat negara, memang enak. Penghasilan cukup gede, ditambah berbagai tunjangan yang nilainya wah, dan tak perlu pusing mikirin pajak penghasilan.
Beda jauh
dengan karyawan swasta kelas menengah, gajinya pas-pasan harus
disunat pajak pula.
Ketua Umum
(Ketum) Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, mengaku
miris dengan viralnya pemberitaan bahwa pajak penghasilan (PPh) dari pejabat
pusat hingga daerah, termasuk anggota DPR dan DPRD, dibayarkan lewat APBN atau APBD.
Dia
menyebut, kebijakan tersebut, merupakan bentuk nyata ketidakadilan fiskal dan
pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
"Kebijakan ini mempertontonkan ketidakadilan fiskal dan pengingkaran
terhadap kedaulatan rakyat. Rakyat kecil dikejar-kejar harus bayar pajak. Kalau
enggak bayar, dikenai denda besar. Sementara pejabat pusat hingga daerah, serta
anggota DPR dan DPRD, bebas pajak. Pajaknya dibayarkan negara, enak betul
itu," papar Rinto Setiyawan di
Jakarta, Selasa (26/8/2025).
Rakyat,
kata dia, sejatinya adalah pemilik kedaulatan negara, namun masih
dibebani tarif pajak progresif hingga 35 persen.
Sementara
pejabat negara, baik level pusat hingga daerah, kewajiban PPh-nya justru
ditanggung negara. Yang notabene berasal dari keringat rakyat.
"Hal ini jelas diatur dalam PP Nomor 80 Tahun 2010, pasal 2
tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan PPh pasal 21 atas Penghasilan
yang menjadi beban APBN atau APBD," bebernya.
Menurut
Rinto, fakta menunjukkan adanya standar ganda dalam kebijakan fiskal yang
dijalankan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani.
Rakyat
kecil yang bekerja keras sebagai buruh, pedagang kecil dan UMKM dipaksa
membayar pajak penuh, sementara pejabat yang mendapat fasilitas, tunjangan dan
gaji besar, malah menikmati keistimewaan.
"Bagaimana mungkin keadilan pajak ditegakkan jika pejabat yang
mestinya memberi teladan, justru diistimewakan," imbuhnya.
Ketika
rakyat mencari keadilan dalam sengketa pajak, lanjut Rinto, kerap menemui
jalan buntu.
Sebab,
hampir seluruh lembaga mulai eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sudah
masuk dalam lingkaran penerima fasilitas pajak ditanggung negara.
"Kondisi ini membuat rakyat semakin terpojok, seakan negara berdiri
untuk melindungi pejabat, bukan rakyat," imbuhnya.
"IWPI menilai, praktik ini sangat melukai rasa keadilan. Pajak
seharusnya menjadi instrumen pemerataan dan kesejahteraan rakyat, bukan alat
untuk memanjakan pejabat. Negara tidak boleh memperlakukan rakyat sebagai obyek
pemerasan fiskal, sementara pejabat justru bebas dari kewajiban yang
sama," kata Rinto.
Ke depan,
lanjutnya, IWPI mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi PP Nomor 80 Tahun
2010 yang menjadi biang kerok ketidakadilan ini.
Selain itu,
kebijakan PPh pejabat tidak boleh lagi ditanggung APBN/APBD, namun dipotong
langsung dari penghasilan mereka, sebagaimana rakyat melaksanakan kewajiban
pajaknya dari keringat sendiri.
"Kita minta, Menkeu Sri Mulyani harus jelaskan secara jujur kepada
publik, apakah keadilan pajak hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara
pejabat mendapatkan keistimewaan," tandasnya.
Sebelumnya,
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media
Wahyudi Askar membongkar adanya privilese pajak untuk pejabat
dari level pusat hingga daerah.
Sri Mulyani
sebagai punggawa kementerian penerimaan negara diharapkan bisa mencabut aturan
yang memberikan keistimewaan ini. Karena sangat tak berkeadilan di mata
masyarakat.
“Solusi ke depan yang konstruktif, seluruh pejabat negara termasuk DPR
menganut skema satu gaji saja. Seluruh tunjangan dan gaji pokok semua jadi pos
dan dikenakan pajak," kata Media,
Jakarta, dikutip Selasa (26/8/2025).
Dikatakan,
kenyataan yang menyakitkan, gaji pejabat negara, khususnya anggota DPR,
pajaknya ditanggung negara, itu tidak fair.
Sedangkan
karyawan swasta diwajibkan membayar pajak penghasilan. :Ini dosa lintas
generasi, kementerian keuangan seharusnya sejak awal mengetahuinya,” lanjut
Media.
Ia
mengingatkan, PPh pasal 21 dipungut atas gaji atau penghasilan yang diterima
seorang karyawan, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Regulasi
ini menetapkan tarif PPh sebagai sebagai berikut:
1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta: tarif PPh 5 persen;
2. Penghasilan lebih dari Rp60 juta-Rp250 juta: tarif PPh 15 persen;
3. Penghasilan lebih dari Rp250 juta-Rp500 juta: tarif PPh 25 persen;
4. Penghasilan lebih dari Rp500 juta-Rp5 miliar: tarif PPh 30 persen; dan
5. Penghasilan lebih dari Rp5 miliar: tarif PPh 35 persen.

No comments:
Post a Comment