Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik (KUHP)
Abstrak
Polemik ijazah D-1, S.E., dan M.M. milik Joko Widodo (Jokowi), serta dugaan pelanggaran etik dan hukum oleh Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, tak bisa terus dibiarkan mengambang.
Negara hukum tak menunggu laporan rakyat untuk memulai
penyelidikan atas dugaan pemalsuan dokumen publik.
Saatnya Presiden Prabowo Subianto bertindak. Ia bukan hanya
menyelamatkan masa depan pemerintahannya, tetapi juga kehormatan bangsa.
Jokowi seolah lupa cara berterima kasih. Prabowo telah
“menyelamatkan” Jokowi dari keretakan politik pasca Pilpres 2019 dengan
bersedia menjadi Menteri Pertahanan.
Namun menjelang akhir masa jabatannya, Jokowi malah mencoba
memaksakan wacana tiga periode melalui pembiaran atas suara-suara
inkonstitusional dari lingkaran dekatnya: Luhut Binsar Pandjaitan, Muhaimin
Iskandar, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, bahkan Ketua
MPR dan DPD.
Wacana tersebut akhirnya kandas. Penolakan keras dari
Megawati Soekarnoputri, tekanan publik, serta jatuhnya korban jiwa dan luka
fisik membuat skenario tiga periode tak bisa dilanjutkan. Tapi aroma kerakusan
kekuasaan tak serta merta padam.
Jokowi justru mengalihkan strategi: menghambat Ganjar Pranowo
dan terutama Anies Baswedan melalui manuver hukum—membuka jalan bagi putranya,
Gibran, sebagai cawapres melalui “potong usia” oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun sejarah mencatat, “jalan pintas” itu mencederai
konstitusi. MKMK menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman—paman Gibran dan Ketua
MK kala itu—karena terbukti melanggar etik berat. Sebutan “anak haram
konstitusi” pun melekat pada Gibran.
Menjelang pelantikan presiden-wapres, publik digegerkan akun
“Fufu Fafa”—yang diduga kuat milik Gibran.
Akun ini merendahkan martabat Prabowo Subianto dan
keluarganya. Yang mencengangkan, nomor ponsel yang digunakan akun tersebut
identik dengan nomor Gibran saat mendaftar ke KPUD Solo.
Meski dituduh oleh 99% warganet, Gibran memilih diam. Tak ada
klarifikasi, tak ada tanggung jawab.
Jika Jokowi benar-benar negarawan, ia mestinya sadar bahwa
langkah terbaik adalah meminta Gibran mundur dari kursi RI-2.
Bukan hanya karena soal etika dan wibawa, tetapi juga
kapasitas intelektual Gibran yang sering jadi bahan cibiran karena tampak
kesulitan menjawab pertanyaan media sederhana.
Ia juga diterpa rumor negatif soal penyalahgunaan, serta keterlibatan keluarganya (Kaesang, Bobby, Kahiyang) dalam isu-isu yang menyerempet KPK.
Ditambah lagi, kebenaran ijazah Gibran setara D-1 juga tengah
diragukan publik.
Seorang alumni D-1 dengan jam terbang politik secuil tentu
tidak layak mendampingi Jenderal bintang empat alumni Akmil.
Maka, wajar jika sebagian besar elite TNI dan menteri kabinet
Prabowo kelak hanya akan menghormati Gibran secara formal, bukan karena
kapabilitas.
Kini Jokowi hanya disokong oleh relasi personal dengan
Kapolri Listyo Sigit. Namun, kendali politik dan hukum sepenuhnya berada di
tangan Prabowo.
Bila Prabowo memerintahkan Kapolri atau Jaksa Agung untuk
mengusut tuntas kasus “Fufu Fafa” dan dugaan ijazah palsu Jokowi, maka baik
Gibran maupun Jokowi sendiri bisa jadi bukan lagi penguasa—melainkan terdakwa
di pengadilan.
Lucunya, Jokowi malah mengeluarkan pernyataan defensif,
“Pilpres kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri…” seolah menolak
pemakzulan Gibran karena khawatir efek domino terhadap posisinya sendiri.
Padahal, tanggung jawab hukum atas kejahatan individu—seperti
dugaan akun Fufu Fafa bukanlah tanggung jawab kolektif. Presiden tidak ikut
terseret karena wakilnya melakukan pelanggaran.
Jika Gibran mengundurkan diri secara sadar, ia dan Jokowi
masih punya ruang untuk dipuji sebagai negarawan.
Namun bila kelak dipaksa turun lewat jalan konstitusional,
maka badai hukum akan menyapu tidak hanya Gibran, tapi juga seluruh keluarga
Jokowi.
Tuduhan soal ijazah palsu, nepotisme, abuse of power, hingga
keabsahan gelar-gelar akademik keluarga Jokowi akan menjadi titik awal
gelombang pengusutan besar-besaran.
Indonesia adalah negara hukum. Dalam konteks dugaan pemalsuan
ijazah—sebagai delik umum—penyidik tidak perlu menunggu laporan
masyarakat.
Fakta bahwa ijazah itu telah digunakan dalam jabatan publik
sudah cukup menjadi alasan penyelidikan.
Jika Prabowo sungguh mencintai negeri ini, saatnya ia berhenti menjadi pelindung keluarga Jokowi.
Sebaliknya, ia harus berdiri sebagai pelindung konstitusi dan
masa depan bangsa.
No comments:
Post a Comment