Oleh Fiqri Muhammad Iqbal
Beberapa
waktu lalu, Megawati kembali tampil di publik. Bukan sebagai Ketua Umum partai
atau Ketua Dewan Pengarah BRIN, melainkan sebagai komentator urusan ijazah.
Beliau bilang, “Yo, orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah
bener apa enggak? Ya, kok susah amat, ya? Kan kalau ijazahnya betul, kasih aja,
‘Ini ijazah saya,’ gitu lho.” Santai sekali, Bu. Seolah yang ditanya cuma soal
kartu vaksin, bukan kredibilitas pemimpin negara.
Masalahnya,
ucapan itu tidak muncul di ruang kosong. Komentar Megawati hadir di tengah
polemik panjang soal keaslian ijazah Presiden Jokowi yang sempat digugat ke
pengadilan, lalu dilaporkan ke Bareskrim oleh tokoh yang... ya, kita tahu lah
rekam jejaknya. Dari situ, percakapan publik pun terbentuk. Komentar santai Bu
Mega justru memantik satu hal penting: bagaimana narasi dibentuk dari mulut
elite, dan bagaimana rakyat diminta percaya begitu saja. Gak usah cerewet. Gak
usah nanya-nanya. Titik.
Kalau
mau serius sedikit, mari kita pakai Analisis Wacana Kritis (AWK). Teori ini
mengajarkan kita untuk tidak hanya mendengar apa yang dikatakan, tetapi juga
siapa yang berbicara, dalam konteks apa, dan kepentingan siapa yang sedang
dijaga.
Dalam kasus ini, wacana soal “sederhananya menunjukkan ijazah” dari seorang mantan presiden dan elite partai bukan pernyataan receh. Ini adalah bentuk kuasa simbolik yang menempatkan elite seolah-olah pemilik kebenaran. Yang mempertanyakan? Ya, dianggap cerewet, tidak tahu aturan, atau lebih parah, subversif.
Di
sinilah bahayanya. Pelan-pelan, publik terbiasa menganggap pertanyaan kritis
sebagai gangguan. Bahwa membahas keabsahan dokumen resmi pejabat adalah hal
remeh.
Yang
membuat tambah unik, pernyataan seperti ini dikemas dalam bahasa yang sangat
“ibu-ibu”. Nada yang seolah akrab dan membumi. Namun, justru di situ letak
kekuatannya: gaya tutur yang terlihat kasual bisa menutupi struktur kekuasaan
yang sedang bekerja. Ini mirip dengan apa yang disorot Norman Fairclough, bahwa
bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga alat dominasi.
Elite
bicara seperti teman, padahal yang terjadi adalah perintah halus untuk tidak
mengganggu status quo.
Lihat
bagaimana media sosial bekerja: netizen terpecah antara “tim percaya” dan “tim
tanya”. Obrolan tentang ijazah menjadi semacam reality show politik
yang menyita perhatian nasional, tetapi kehilangan substansinya karena
dijejalkan ke format meme, sindiran, dan tebak-tebakan identitas.
Publik
akhirnya lupa bahwa pertanyaannya bukan sekadar “ada ijazah atau tidak”,
melainkan “mengapa keraguan ini muncul dan dibiarkan berlarut-larut?”
Jika
negara percaya pada kekuatan demokrasi, seharusnya menjawab pertanyaan publik
dianggap wajar. Jangan sedikit-sedikit bilang rakyat harus paham. Justru tugas
pejabat publik lah yang harus menjelaskan.
Saran
saya sederhana: elite politik perlu lebih hati-hati saat berkomentar. Kalimat
yang tampak remeh bisa memperkuat praktik delegitimasi suara publik yang
kritis. Ketimbang menyuruh rakyat diam, mengapa tidak disambut dengan
transparansi?
Untuk
masyarakat, jangan mudah dimanipulasi oleh narasi yang terlihat ramah. Kadang,
yang lembut bukan berarti baik. Yang kalem bukan berarti jujur.
Transparansi
tidak akan merusak martabat pemimpin. Justru menambah kredibilitas. Namun, jika
pertanyaan dibalas dengan sindiran, maka wajar jika orang bertanya-tanya:
memang ada yang perlu disembunyikan?
No comments:
Post a Comment