Hal-hal yang tampak
sederhana seperti keaslian ijazah atau konsistensi dalam pernyataan publik bisa
menjadi kunci penilaian atas kejujuran dan tanggung jawab seorang pejabat
tinggi.
Di tengah hiruk-pikuk
politik Indonesia, pertanyaan mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo
kembali menyeruak ke permukaan, kali ini melalui sorotan kritis dari Prof. Dr.
Ryaas Rasyid, seorang akademisi dan tokoh reformasi tata kelola pemerintahan.
Ryaas Rasyid bukan
sosok sembarangan.
Ia adalah salah satu
arsitek otonomi daerah dan pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara.
Pandangannya soal
hilangnya dokumen pencalonan Jokowi di KPU Solo, Jakarta, dan Pusat bukan
sekadar gumaman pinggir jalan.
Ia mempertanyakan
secara terbuka: Mengapa dokumen administrasi penting seperti ijazah
Jokowi tidak bisa ditemukan di ketiga level KPU tersebut?
Dan yang lebih
mengkhawatirkan, mengapa baik Jokowi maupun KPU memilih diam?
Diam yang berulang
bukan hanya menciptakan kesan penghindaran, tetapi juga mencederai akal sehat
publik.
Di negara mana pun,
seorang kepala negara wajib memiliki riwayat administratif yang lengkap dan
bisa diverifikasi.
Ketika dokumen-dokumen
itu hilang tanpa jejak, dan tidak ada klarifikasi resmi, maka publik punya hak
penuh untuk bertanya: ada apa yang disembunyikan?
Lebih jauh lagi, Ryaas
juga menyinggung momen di mana Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai Presiden,
datang ke kampus almamaternya UGM dan menyebut Prof. Dr. Kasmujo sebagai dosen
pembimbing skripsinya.
Pernyataan ini segera
dibantah oleh Kasmujo sendiri, yang menegaskan bahwa ia tidak pernah membimbing
skripsi Jokowi.
Jika benar demikian,
maka publik dihadapkan pada kenyataan pahit: seorang kepala negara menyampaikan
informasi keliru di ruang akademik, tanpa ada koreksi, klarifikasi, atau
tanggung jawab moral yang ditunjukkan.
Dua kejadian
ini—hilangnya dokumen dan klaim pembimbing yang tidak sesuai fakta—bukan
sekadar isu administratif. Ia menyentuh jantung integritas.
Sebab, seorang pemimpin
bukan hanya dipilih untuk memimpin, tetapi juga untuk menjadi teladan.
Kejujuran adalah pondasi dasar dari semua nilai kepemimpinan.
Ketika kejujuran ini
dipertanyakan dan tidak dijawab, maka yang hilang bukan hanya dokumen, tapi
kepercayaan publik.
Sebagian mungkin akan
membela dengan dalih bahwa ini hanya manuver politik, bahwa Jokowi telah dua
kali terpilih secara demokratis, dan bahwa isu ijazah ini hanyalah fitnah
belaka.
Namun bila demikian,
mengapa pembuktian terhadap keaslian ijazah itu tak pernah diselesaikan secara
terbuka dan tuntas?
Jika benar tidak
ada yang disembunyikan, bukankah lebih mudah menunjukkan bukti otentik, bukan
sekadar legalisasi fotokopi?
Diamnya negara,
terutama lembaga seperti KPU yang seharusnya menjaga integritas proses
demokrasi, memperburuk kecurigaan.
Dalam sistem yang
sehat, KPU wajib menyimpan dan memverifikasi seluruh dokumen pencalonan, bukan
justru kehilangan atau abai.
Diamnya Jokowi, di sisi
lain, memperlihatkan ketidakpedulian terhadap pertanyaan moral dan integritas
personal yang semestinya dijunjung tinggi oleh seorang Presiden.
Kita tak sedang memburu
masa lalu seseorang untuk mempermalukannya, melainkan ingin memastikan bahwa
pemimpin kita lahir dari proses yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.
Di sinilah esensi
demokrasi diuji. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal kejujuran,
keterbukaan, dan akuntabilitas.
Selama
pertanyaan-pertanyaan ini tak dijawab, selama dokumen-dokumen itu tak muncul,
dan selama klarifikasi tak pernah datang, maka setiap warga negara berhak untuk
terus bertanya: siapa sebenarnya yang sedang kita sebut sebagai
Presiden? Dan apa yang sebenarnya sedang ditutupi oleh diam yang berkepanjangan
itu?
Jokowi Nikmati
Pemberitaan Ijazah Palsu
Keputusan Presiden ke-7
RI Joko Widodo alias Jokowi untuk melaporkan sejumlah pihak yang memintanya
menunjukkan ijazah asli dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM),
merupakan strategi ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka untuk merawat popularitas
usai lengser dari kekuasaan.
Demikian dikatakan
pakar politik Prof Ryaas Rasyid dikutip dari Youtube Kanal SA, Kamis 24 Juli
2025.
"Beliau ini
kelihatannya menikmati suasana pemberitaan yang simpang siur itu. Kan itu lagi
popular," kata Ryaas.
Ryaas menilai sejak
masuk panggung politik lewat Pilkada Solo, Pilkada DKI Jakarta hingga Pilpres,
Jokowi merupakan salah satu pemimpin yang mendambakan popularitas.
"Terlepas
(popularitas) positif atau negatif, terpenting disebut-sebut. Alam Bawah
sadarnya mungkin begitu," kata Ryaas.

No comments:
Post a Comment