ZONA NEWS (ZNN) | Politik pembangunan rumah rakyat kini menghadirkan drama baru.
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah,
dengan lantang membuka fakta: APBN 2025 hanya menyiapkan Rp
850 miliar, dana yang bahkan tidak menyentuh angka Rp 1 triliun.
Anggaran ini hanya mampu merenovasi sekitar 35–40 ribu rumah rakyat.
Di sisi lain, Menteri Maruarar Sirait (Ara) justru tampil
dengan jargon bombastis: 3.000 unit rumah subsidi untuk wartawan sudah
disiapkan, bahkan digadang-gadang sebagai prestasi sejak ia baru sebulan
menjabat.
Pertanyaannya: siapa yang sedang bermain retorika, dan siapa yang berbicara
dengan pijakan realitas fiskal?
1. Fahri Hamzah: Realisme Anggaran
Fahri tak segan-segan menyatakan bahwa program besar 3 juta rumah
rakyat mustahil direalisasikan melalui APBN 2025.
Sebab, APBN tahun ini masih warisan rezim sebelumnya, dengan plafon
terbatas, belum disesuaikan dengan arah kebijakan baru Presiden Prabowo.
Itulah sebabnya, program masif baru mungkin terwujud pada 2026, setelah
pemerintah menyusun postur fiskal baru.
Dengan kata lain, Fahri menegaskan batas realitas: anggaran bukanlah
sekadar janji, melainkan soal hitung-hitungan yang ketat.
2. Maruarar Sirait: Klaim Politik yang Terburu-buru
Kontras dengan Fahri, Ara justru bermain di panggung simbolik.
Di hadapan wartawan, ia menyebut 1.000 unit rumah subsidi sudah disiapkan
dan akan ditambah jadi 3.000 unit.
Narasi ini seolah hendak menegaskan kecepatan kerja dan kepedulian politik
terhadap insan pers.
Padahal, jika menilik data konkret, yang baru terealisasi hanyalah sekitar
100 unit rumah diserahterimakan dan 124 wartawan tercatat sebagai debitur.
Dengan kata lain, klaim “3.000 unit” lebih tepat disebut janji yang
diperbesar gaungnya, bukan prestasi yang telah nyata berdiri di lapangan.
3. Bakuhantam Retorika: Realisme vs Imajinasi
Pernyataan Fahri Hamzah, meski terdengar pahit, adalah bentuk tamparan
realitas.
Ia mempermalukan retorika Maruarar dengan cara halus namun tegas: anggaran
2025 tidak cukup untuk menopang klaim spektakuler seperti 3.000 unit, apalagi 3
juta rumah.
Fahri menunjukkan angka, Ara menunjukkan jargon.
Fahri bicara keterbatasan, Ara menjual kemungkinan. Dan di sinilah publik
berhak bertanya: apakah kita butuh ilusi politik, atau transparansi fiskal?
4. APBN 2025: Tidak Mungkin Jadi Mesin Mimpi
APBN 2025 ibarat mesin tua yang sudah di-setting sebelum Prabowo resmi
memimpin. Ia tidak dirancang untuk menopang ambisi 3 juta rumah, apalagi
janji-janji baru.
Dengan hanya Rp 850 miliar untuk renovasi rumah rakyat, target yang
realistis hanyalah puluhan ribu rumah, bukan jutaan.
Maka ketika Ara menjanjikan ribuan unit khusus untuk kelompok tertentu,
publik melihat kontradiksi: bagaimana mungkin anggaran yang seret bisa
menanggung janji spektakuler?
Bukankah itu justru membuka ruang kecurigaan bahwa politik simbolik lebih
dominan daripada politik pembangunan?
Penutup: Antara Ilusi dan Realitas
Pertarungan narasi ini memperlihatkan dua wajah pemerintahan baru.
Fahri Hamzah tampil sebagai pengingat bahwa pembangunan membutuhkan
perhitungan fiskal, bukan sekadar klaim.
Sementara Maruarar Sirait hadir dengan gaya populis, menjual angka yang
terdengar menggiurkan namun tidak sejalan dengan daya dukung APBN.
Di ujungnya, publik yang akan menilai: apakah ingin dipimpin oleh narasi
realistis yang mungkin terasa getir, atau oleh janji manis yang rapuh ketika
berhadapan dengan kalkulasi anggaran negara?

No comments:
Post a Comment