Data-data ekonomi Indonesia terus melanjutan tren pemburukan selama periode triwulan I-2025. Hal ini mengindikasikan sinyal mengkhawatirkan pada perekonomian Indonesia dan memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan dan mengatur ulang langah kebijakan ekonomi pada periode tahun 2025-2026.
Senada dengan fakta ekonomi tersebut. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) bertajuk: Indonesia Economic Outlook Q2-2025 mengungkapkan tren yang mengejutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya mulai kehilangan "bahan bakar" utamanya.
Memang antara tahun 2000 hingga 2019, Indonesia mendapatkan kembali momentumnya, ditandai dengan perbaikan berbasis luas di seluruh spektrum kelas ekonomi. Jumlah penduduk miskin turun dari 18,95% menjadi hanya 9,41%.
Kelas menengah tumbuh pesat dari 4,4% menjadi 21,45%, dan kelompok rentan pun menurun signifikan. Semua indikator menunjukkan arah positif. Namun, sejak 2018, arah angin mulai berubah dan bukan sepenuhnya karena pandemi Covid-19. Meski pandemi mempercepat krisis, LPEM FEB UI menegaskan bahwa tanda-tanda kontraksi sudah muncul sebelumnya.
Pemerintah telah menyusun dan akan menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2026 ke DPR pada 20 Mei 2025 mendatang.
Para ekonom berharap pemerintah harus menyusun dan memperhitungkan kondisi global yang masih diliputi ketidakpastian, terutama dari sisi moneter global dan gejolak politik.
Di dalam negeri, sejumlah data ekonomi RI menunjukkan pemburukan, misalnya saja data Indeks Manufaktur Indonesia yang anjlok pada bulan April 2025 menjadi 46,7 dari sebelumnya di level 52,4 pada Maret.
Ini menunjukkan penurunan kesehatan sektor manufaktur Indonesia dalam lima bulan terakhir, dan sekaligus merupakan kontraksi terdalam pada kondisi bisnis selama 4 tahun terakhir sejak Agustus 2021.
Sejalan dengan itu, data perbankan juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan kredit. Berdasarkan hasil survey Bank Indonesia, pada triwulan I 2025 memprakirakan outstanding kredit sampai dengan akhir tahun 2025 tumbuh sebesar 9,89% secara tahunan (year on year/yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan realisasi pertumbuhan kredit pada tahun 2024 sebesar 9,67% yoy.
Artinya, survey tersebut menunjukkan mayoritas perbankan pesimistis terhadap pertumbuhan kredit yang ditargetkan BI dikisaran 11%-13% pada tahun 2025-2026.
Meskipun jika dilihat realisasi per Februari 2025, pertumbuhan kredit masih mampu menyentuh angka dua digit yakni 10,20% yoy menjadi Rp 7.825 triliun, angka pertumbuhan ini sedikit meningkat dari bulan Januari yang tumbuh 10,27% yoy.
Sebaliknya, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, masyarakat makin banyak meminjam online (Pinjol), terbukti dengan meningkatnya porsi kredit Buy Now Pay Later (BNPL) pada industri fintech peer to peer (P2P) lending, dengan outstanding kredit tumbuh 31,06% yoy per Februari 2025, meningkat dibandingkan Januari (29,94% yoy), dengan nominal sebesar Rp 80,07 triliun.
Di sisi lain, data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) oleh Bank Indonesia juga mencatatkan penurunan sebesar 5,3 poin dari bulan sebelumnya menjadi 121,1 per Maret 2025. Artinya IKK ini terus menunjukkan tren penurunan sejak awal tahun.
Program-program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) nyatanya belum mampu memberikan dampak nyata ke perekomian Indonesia, bahkan program ini justru menimbulkan polemik kasus penggelapan dana anggaran dan berbagai masalah pada pelaksanaannya.
Padahal, Presiden Prabowo juga telah memangkas Rp 306 triliun anggaran belanja negara (APBN) untuk kemudian dialokasikan mendukung program Asta Cita Prabowo Subianto seperti MBG hingga pembentukan BPI Danantara.
Menurut Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman kepada Kontan menyampaikan, penyusunan KEM PPKF perlu menekankan reformasi fiskal yang mampu memperbaiki kualitas belanja, memperluas basis perpajakan tanpa membebani sektor riil, dan mendorong investasi pada sektor riil prioritas seperti energi terbarukan, industri manufaktur basis pertanian dan pertambangan prioritas, dan transformasi ekonomi serta digital.
"Ini penting agar APBN 2026 tidak hanya responsif terhadap tekanan jangka pendek, tapi juga menopang pertumbuhan jangka panjang secara berkelanjutan," ungkap Rizal.
Meskipun pertumbuhan Indonesia relatif stabil di 5,05% pada 2024 tetapi menurut Rizal pertumbuhan ekonomi di 2025 sangat besar tantangannya. Tantangan struktural seperti rendahnya produktivitas dan belum optimalnya serapan belanja pemerintah masih membayangi. Tak ayal Dana Moneter Internasional (IMF) juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,7% tahun ini.
Lebih jauh Rizal memperkirakan dengan skenario optimis, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5,0%-5,2% dan moderat pada kisaran 4,7%-4,9%. Menurutnya angka skenario tersebut sejalan dengan proyeksi jangka menengah pemerintah dan outlook lembaga internasional seperti World Bank dan IMF.
https://www.law-justice.co/artikel/185541/prospek-ekonomi-2025-2026-sulit-perlu-reformasi-kebijakan-fiskal/
No comments:
Post a Comment