Zona News (ZNN) | Masih ingat kasus korupsi PT Timah (Persero) Tbk yang merusak lingkungan cukup dahsyat. Nilainya mencapai Rp271 triliun. Jika dibandingkan dengan kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang di Raja Ampat, berapa besarnya?
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) , Fahmy radhi mengaku belum menghitung secara pasti. Tapi dia meyakini bahwa angkanya jauh di atas kerugian lingkungan dari korupsi PT Timah yang mencapai Rp271 triliun.
"Saya yakin lebih besar dan dahsyat dari kasus korupsi timah.," kata Fahmi, Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Fahmy benar. Kerusakan lingkungan akibat tambang nikel, memang luar biasa. Apalagi kabupaten Raja Ampat memiliki kekayaan alam dan lingkungan yang tak ternilai dengan uang. Otomatis, kerugiannya melebihi kasus korupsi PT Timah.
"Apalagi ini untuk di Raja Ampat, itu kan banyak flora dan fauna dan spesies yang itu langka. Kalau itu kemudian punah, itu kan nggak bisa direklamasi. Nggak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi. Nah, maka itu kerugiannya sangat besar," kata Fahmy.
Secara kalkulasi, lanjut Fahmy, nilai kerugian negara dari aktivitas pertambangan di Raja Ampat bisa lebih dari Rp300 triliun, berkaca dari kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup, negara mengalami kerugian senilai Rp271 triliun akibat kerusakan lingkungan dari penambangan ilegal dalam kasus PT Timah.
"Nah, maka berdasarkan hitungan itu ya sebesar itu kerugian kerusakan alam, tapi mestinya kalau di Raja Ampat itu jauh lebih besar," kata Fahmy.
Bagi Fahmy, langkah Presiden Prabowo Subianto mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan yang beroperasi di kawasan Raja Ampat belumlah cukup. Dia berharap pemerintah memberikan perlakuan serupa buat PT GAG Nikel (GN).
Dari kacamata Fahmy, dalih bahwa perusahaan tersebut telah mengimplementasikan reklamasi secara baik, maupun jarak 40 kilometer antara lokasi tambang (Pulau Gag) dengan pusat konservasi utama Raja Ampat tidak dapat dijadikan pembenaran.
Sebagai contoh, beber Fahmy, limbah tambang nikel berupa debu bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer. Ini tentu bisa menimbulkan kontaminasi, bahkan membahayakan kesehatan manusia karena kandungan arsenik dalam debu tambang nikel ini.
"Jadi kalau alasannya tidak ditutup itu karena jauh, saya kira itu tidak tepat juga. Nah, kemudian yang paling penting juga PT GAG itu melanggar undang-undang," sambungnya.
Menurut Fahmy, PT GAG telah melangkahi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut juga melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2 ribu kilometer persegi.
"Itu berdasarkan undang-undang yang sudah didukung oleh mahkamah agung maupun mahkamah konstitusi. Itu dilarang untuk melanggar penambangan di pulau kecil tadi tanpa syarat apapun gitu ya. Nah, itu melanggar," tegas Fahmy.
Fahmy menekankan, Raja Ampat sudah semestinya bebas dari segala aktivitas pertambangan demi menghentikan potensi krisis ekologi. Lebih jauh, aparat termasuk kejaksaan juga harus turun tangan mengusut bagaimana kelima perusahaan bisa mengantongi izin tambang di Raja Ampat.
"Nah, jangan-jangan gitu ya, selamanya di Indonesia itu kan ada semacam KKN gitu ya. Ada semacam kongkalikong sehingga keluar lah izin tadi. Nah, ini barangkali perlu diusut kalau itu terbukti, ya harus ditindak secara pidana dengan aturan hukum yang ada," pungkasnya.
Sebelumnya, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki IUP di wilayah Raja Ampat.
Dua perusahaan, PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), mendapat izin dari pemerintah pusat. Sementara tiga lainnya, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, mengantongi izin dari Pemerintah Daerah Raja Ampat.
Keberadaan dan aktivitas mereka telah menjadi sorotan menyusul pencabutan IUP oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap empat di antaranya.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri pun mulai menyelidiki dugaan tindak pidana terkait IUP di kawasan Raja Ampat.
https://www.inilah.com/ahli-kerusakan-lingkungan-akibat-tambang-nikel-di-raja-ampat-minimal-rp300-triliun
No comments:
Post a Comment