ZONA NEWS (ZNN) | Analisa yang trengginas dan faktual disampaikan mantan wa- kapolri periode 2013-2014 pada acara podcast forum keadilan di channel youtube- nya.
Tanpa tedeng aling-aling, Komjen Pol (Purn) Oegroseno menyebut
bahwa akar dari terseretnya institusi Polri ke dalam pusaran
politik praktis bermula dari sebuah "kesalahan fatal" yang terjadi
pada 2015: pengangkatan Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri.
Bagi Oegroseno, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu
tidak hanya merusak tatanan senioritas yang telah lama dijaga,
tetapi juga membuka kotak pandora yang membuat Polri rentan
diintervensi dan kehilangan netralitasnya.
'Dosa Asal' 2015: Titik Mula Politisasi Polri
Oegroseno dengan tegas menunjuk satu momen spesifik sebagai titik awal
kemunduran profesionalisme Polri.
Baginya, semua berawal dari keputusan politik di level tertinggi yang
mengabaikan tradisi dan tatanan internal.
"Saya melihat kan sejak 2015 lah ya, begitu Pak
Jokowi jadi presiden memberhentikan Pak Sutarman jadi kapolri itu
sudah salah fatal. Fatal," cetusnya dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV.
Kesalahan fatal itu, menurutnya, berlanjut pada manuver yang belum pernah
terjadi sebelumnya: melompati beberapa generasi angkatan untuk menaikkan
seorang perwira yang jauh lebih junior ke kursi Tribrata 1 (TB1), sebutan untuk
Kapolri.
"Naiknya Jenderal Tito Karnavian juga merupakan
bagian dari kesalahan fatal itu," tegasnya.
Luka Senioritas: 'Perasaan Kita Enggak Bisa Nerima'
Oegroseno tidak segan-segan membuka luka lama di kalangan perwira tinggi
saat itu.
Ia menggambarkan betapa keputusan tersebut menciptakan guncangan psikologis
dan rasa ketidakadilan yang mendalam di antara para senior yang kariernya
tiba-tiba dilangkahi.
"Iya kan bisa dilihat harusnya per angkatan ini kan
ketahuan. Saya tingkat empat waktu di pendidikan akabri ini. Kemudian begitu
kita sudah menjelang masa pensiun tinggal 2 3 tahun tinggal 1 tahun 2 tahun.
Nah, yang jadi kapolrinya dulu tingkat satu nih beda 4 tahun," paparnya, menggambarkan jurang generasi yang
menganga.
Dengan terus terang, ia menyuarakan perasaan para seniornya, "Itu
perasaan kita enggak bisa nerima. Terus terang aja."
Ia pun mempertanyakan dasar meritokrasi yang digunakan
untuk menjustifikasi lompatan karier tersebut.
Baginya, dalam sebuah institusi dengan pendidikan dan pelatihan yang
seragam, tidak ada prestasi individu yang bisa begitu luar biasa hingga
membenarkan perusakan hierarki.
"Sekarang apa sih prestasi luar biasa Akabari ini
Mas? Tidurnya sama-sama. Bangun pagi sama-sama. Makan pagi sama-sama. di kuliah
sama-sama, pulang pergi kuliah sama-sama. Enggak ada yang enggak
sama-sama," sindirnya.
Baginya, yang membedakan adalah seni kepemimpinan, sebuah
kualitas intangible yang dinilai seiring berjalannya waktu, bukan melalui
lompatan instan.
Terseret Terlalu Jauh dan Panggilan Kembali ke Khittah
Puncak dari kritik Oegroseno adalah bagaimana "kesalahan fatal" pada 2015 itu secara langsung menjadi pintu masuk bagi politisasi institusi Polri.
Netralitas menjadi barang mahal ketika pimpinan tertinggi diangkat melalui
jalur yang tidak konvensional, yang berpotensi menciptakan utang budi
politik.
"Ini berawal dari tahun 2015 tadi itu. Polisi
ditarik ke politik terlalu jauh," ungkapnya. "siapa yang bisa yang
mengatakan bahwa oh ini tidak membantu kepala daerah yang dipilih dalam Pilkada gitu
kan kelihatan ya," ujar Oegroseno.
Oleh karena itu, ia menyerukan panggilan yang mendesak agar Polri segera ditarik kembali ke relnya.
Kembali menjadi institusi yang profesional, netral, dan mengabdi pada
rakyat, bukan pada kepentingan pejabat atau kekuasaan.
"Ini harus kembalikan lagi back to profesionalisme
gitu loh. Tarik lagi ke sini. Jadi benar-benar netral polisi itu tribrata, abdi
utama dari Indonesia dan bangsa ya kan," tegasnya.
Oegroseno menutup dengan sebuah pengingat keras tentang esensi tugas kepolisi- an, "Warga negara teladan daripada negara wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat, bukan ketertiban pribadi pejabat. Enggak ada enggak ada ketentuan situ."

No comments:
Post a Comment